Senin, 23 April 2012

anggun

Anggun Pertahankan Ciri Khas Wanita Jawa


anggun_1-ari
Anggun C. Sasmi (Ari/BI)
Sepuluh tahun sudah Anggun menanggalkan kewarganegaraan Indonesia demi mendapatkan paspor Perancis. Namun, pemilik nama lengkap Anggun Cipta Sasmi ini masih mempertahankan ciri khas perempuan Indonesia yang ada pada dirinya.
Salah satu yang menjadi kebanggaannya adalah rambut panjang yang menjadi representasi wanita Jawa.
"Rambut panjang belah tengah. Aku masih menjaga tradisi Jawa," ungkap salah satu kerabat keluarga Keraton Yogyakarta itu ditemui di Grand Indonesia, Jakarta, Senin (2/8).
Karena alasan itu juga, hingga kini Anggun tidak tergoda untuk merubah warna asli rambutnya.
"Aku bangga lahir dengan fisik Indonesia, aku ngomong bahasa Indonesia, semua aku pertahankan demi memperkenalkan Indonesia di luar (negeri)," papar perempuan kelahiran 29 April 1974 itu.
Akibat perpindahan kewarganegaraan, memang tidak sedikit orang yang mempertanyakan nasionalisme Anggun ketika itu.
Pelantun "Tua-tua Keladi" itu beralasan, hal itu dia lakukan semata-mata untuk kepentingan karir.
"Hanya warna paspornya saja yang beda. Aku tetap orang Indonesia," tandasnya.

10 candi terkenal di dunia

10 Candi Buddha yang terkenal di dunia


Buddha adalah salah satu agama utama di dunia yang berasal dari India. Agama ini berdasarkan ajaran-ajaran Siddhartha Gautama, yang dikenal sebagai "Sang Buddha". Buddhisme bertujuan untuk melepaskan diri dari penderitaan dan dari siklus kelahiran kembali untuk mencapai nirwana. Ada sekitar 230-500 juta umat Buddha di seluruh dunia. Inilah 10 kuil Buddha yang paling terkenal di dunia.

10. Candi Haeinsa
http://hermawayne.blogspot.com
Candi Haeinsa adalah salah satu kuil Buddha yang paling penting di Korea Selatan. Candi ini pertama kali dibangun pada tahun 802 dan dibangun kembali pada abad ke-19 setelah Haiensa terbakar pada tahun 1817. Harta kuil tersebut yang paling berharga adalah salinan lengkap dari kitab-kitab Buddha yang selamat dari kobaran api.

9. Wat Arun
http://hermawayne.blogspot.com
Terletak di sisi Thonburi, Sungai Chao Phraya, Wat Arun adalah salah satu landmark tertua dan paling terkenal di Bangkok. Candi ini adalah representasi arsitektur Gunung Meru, pusat alam semesta dalam kosmologi Buddhis. Pemandangan terbaik dari Wat Arun adalah di saat malam hari dengan matahari terbenam di baliknya.

8. Pha That Luang
http://hermawayne.blogspot.com
Terletak di Vientiane, Pha That Luang adalah salah satu monumen yang paling penting di Laos. Stupa ini memiliki beberapa teras dengan masing-masing tingkat yang mewakili tahap yang berbeda dari pencerahan Buddha. Tingkat terendah mewakili dunia material, tingkat tertinggi mewakili dunia hampa. Pha That Luang dibangun pada abad ke-16 di atas reruntuhan sebuah kuil Khmer sebelumnya. Kuil itu dihancurkan oleh invasi Siam pada tahun 1828, yang kemudian direkonstruksi oleh Perancis pada tahun 1931.

7. Jokhang
http://hermawayne.blogspot.com
Kuil Jokhang di Lhasa merupakan tempat suci paling penting di Tibet yang menarik ribuan peziarah setiap tahun. Candi ini dibangun oleh Raja Songtsän Gampo pada abad ke-7. Bangsa Mongol sudah beberapa kali menjarah candi Jokhang, tapi bangunan itu tetap bertahan. Hari ini kompleks candi mencakup area seluas sekitar 25.000 meter persegi.

6. Candi Todaiji
http://hermawayne.blogspot.com
Todaiji yang terletak di Nara adalah salah satu kuil Buddha yang paling signifikan secara historis dan terkenal di Jepang. Candi ini dibangun pada abad ke-8 oleh Kaisar Shomu sebagai candi kepala di semua kuil Buddha Jepang. Hari ini, ada sedikit sisa-sisa bangunan asli dari Todaiji. Daibutsuden merupakan rumah salah satu patung Buddha terbesar di Jepang dan merupakan bangunan kayu terbesar di dunia, meskipun hanya dua pertiga ukuran struktur aslinya.

5. Boudhanath
http://hermawayne.blogspot.com
Berlokasi di pinggiran kota Kathmandu, Boudhanath adalah salah satu stupa terbesar di dunia. Bangunan ini adalah pusat Buddha Tibet di Nepal dan sudah banyak para pengungsi dari Tibet yang menetap di sini. Ini mungkin paling dikenal dengan mata Buddha yang ditampilkan pada keempat sisi menara. Stupa ini dibangun kembali pada abad ke-14, setelah sebelumnya dihancurkan oleh penjajah Mughal.

4. Candi Mahabodhi
http://hermawayne.blogspot.com
Candi Mahabodhi adalah sebuah stupa Buddha yang terletak di Bodh Gaya. Kompleks utamanya berisi keturunan asli pohon Bodhi dimana Gautama Buddha memperoleh pencerahan dan merupakan tempat yang paling suci dalam agama Buddha. Sekitar 250 tahun setelah Buddha mencapai pencerahan, Kaisar Asoka membangun sebuah kuil di tempat itu.

3. Pagoda Shwedagon
http://hermawayne.blogspot.com
Pagoda Shwedagon di Yangon, merupakan kuil Buddha tersuci di Burma. Shwedagon yang hilang di zaman kuno dan diperkirakan bahwa pagoda tersebut pertama kali dibangun oleh Mon selama periode Bagan antara abad ke-6 dan 10. Kompleks candi ini penuh dengan gemerlapan, stupa berwarna-warni, tetapi yang menjadi pusat perhatian adalah stupa setinggi 99 meter yang keseluruhannya dilapisi emas.

2. Bagan
http://hermawayne.blogspot.com
Bagan, yang juga dieja Pagan, yang terletak di tepi Sungai Ayerwaddy, adalah area kuil Buddha, pagoda, stupa dan reruntuhan terbesar di dunia. Tempat itu adalah ibukota kuno raja-raja Burma yang dibangun sebanyak 4.400 candi selama puncak kerajaan (antara 1000 dan 1200 M). Pada tahun 1287, kerajaan jatuh ke tangan bangsa Mongol setelah menolak membayar upeti kepada Kubilai Khan dan Bagan menjadi pusat politik, tetapi terus berkembang sebagai tempat beasiswa Buddha.

1. Borobudur
http://hermawayne.blogspot.com
Terletak di pulau Jawa Indonesia, Jogjakarta, Borobudur adalah candi Buddha terbesar dan paling terkenal di dunia. Borobudur dibangun selama sekitar 75 tahun pada abad ke-8 dan 9 oleh kerajaan Sailendra, yang disusun dari sekitar 2 juta blok batu. Candi ini ditinggalkan pada abad ke-14 dengan alasan yang masih tetap menjadi misteri dan selama berabad-abad tersembunyi di hutan di bawah lapisan abu vulkanik.

kartini

Biography

Kartini was born into an aristocratic Javanese family when Java was part of the Dutch colony of the Dutch East Indies. Kartini's father, Sosroningrat, became Regency Chief of Jepara. Kartini's father, was originally the district chief of Mayong. Her mother, Ngasirah was the daughter of Madirono and a teacher of religion in Teluwakur. SHe was his first wife but not the most important one. At this time, polygamy was a common practice among the nobility. She also wrote the Letters of a Javanese Princess. Colonial regulations required a Regency Chief to marry a member of the nobility. Since Ngasirah was not of sufficiently high nobility[2], her father married a second time to Woerjan (Moerjam), a direct descendant of the Raja of Madura. After this second marriage, Kartini's father was elevated to Regency Chief of Jepara, replacing his second wife's own father, Tjitrowikromo.
Kartini was the fifth child and second eldest daughter in a family of eleven, including half siblings. She was born into a family with a strong intellectual tradition. Her grandfather, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, became a Regency Chief at the age of 25 while Kartini's older brother Sosrokartono was an accomplished linguist. Kartini's family allowed her to attend school until she was 12 years old. Here, among other subjects, she learnt to speak Dutch, an unusual accomplishment for Javanese women at the time[3]. After she turned 12 she was 'secluded' at home, a common practice among Javanese nobility, to prepare young girls for their marriage. During seclusion girls were not allowed to leave their parents' house until they were married, at which point authority over them was transferred to their husbands. Kartini's father was more lenient than some during his daughter's seclusion, giving her such privileges as embroidery lessons and occasional appearances in public for special events.
During her seclusion, Kartini continued to educate herself on her own. Because she could speak Dutch, she acquired several Dutch pen friends. One of them, a girl by the name of Rosa Abendanon, became a close friend. Books, newspapers and European magazines fed Kartini's interest in European feminist thinking, and fostered the desire to improve the conditions of indigenous Indonesian women, who at that time had a very low social status.
Kartini's reading included the Semarang newspaper De Locomotief, edited by Pieter Brooshooft, as well as leestrommel, a set of magazines circulated by bookshops to subscribers. She also read cultural and scientific magazines as well as the Dutch women's magazine De Hollandsche Lelie, to which she began to send contributions which were published. Before she was 20 she hard read Max Havelaar and Love Letters by Multatuli. She also read De Stille Kracht (The Hidden Force) by Louis Couperus, the works of Frederik van Eeden, Augusta de Witt, the Romantic-Feminist author Goekoop de-Jong Van Beek and an anti-war novel by Berta von Suttner, Die Waffen Nieder! (Lay Down Your Arms!). All were in Dutch.
Kartini's concerns were not only in the area of the emancipation of women, but also other problems of her society. Kartini saw that the struggle for women to obtain their freedom, autonomy and legal equality was just part of a wider movement.
Kartini with Joyodiningrat
Kartini's parents arranged her marriage to Joyodiningrat, the Regency Chief of Rembang, who already had three wives. She was married on the 12 November 1903. This was against Kartini's wishes, but she acquiesced to appease her ailing father. Her husband understood Kartini's aims and allowed her to establish a school for women in the east porch of the Rembang Regency Office complex. Kartini's only son was born on 13 September 1904. A few days later on 17 September 1904, Kartini died at the age of 25. She was buried in Bulu Village, Rembang.
Inspired by R.A. Kartini's example, the Van Deventer family established the R.A. Kartini Foundation which built schools for women, 'Kartini's Schools' in Semarang in 1912, followed by other women's schools in Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon and other areas.
Commemoration of Kartini Day in 1953
In 1964, President Sukarno declared R.A. Kartini's birth date, 21 April, as 'Kartini Day' - an Indonesian national holiday. This decision has been criticised. It has been proposed that Kartini's Day should be celebrated in conjunction with Indonesian Mothers Day, on 22 December so that the choice of R.A. Kartini as a national heroine would not overshadow other women who, unlike R.A. Kartini, took up arms to oppose the colonisers.
In contrast, those who recognise the significance of R.A. Kartini argue that not only was she a feminist who elevated the status of women in Indonesia, she was also a nationalist figure, with new ideas who struggled on behalf of her people, including her in the national struggle for independence.

Letters

After Raden Adjeng Kartini died, Mr J. H. Abendanon, the Minister for Culture, Religion and Industry in the East Indies, collected and published the letters that Kartini had sent to her friends in Europe. The book was titled Door Duisternis tot Licht (Out of Dark Comes Light) and was published in 1911. It went through five editions, with some additional letters included in the final edition, and was translated into English by Agnes L. Symmers and published under the title Letters of a Javanese Princess.
The publication of R.A. Kartini's letters, written by a native Javanese woman, attracted great interest in the Netherlands and Kartini's ideas began to change the way the Dutch viewed native women in Java. Her ideas also provided inspiration for prominent figures in the fight for Independence.
There are some grounds for doubting the veracity of R.A. Kartini's letters. There are allegations that Abendanon made up R.A. Kartini's letters. These suspicions arose because R.A. Kartini's book was published at a time when the Dutch Colonial Government were implementing 'Ethical Policies' in the Dutch East Indies, and Abendanon was one of the most prominent supporters of this policy. The current whereabouts of the vast majority of R.A. Kartini's letters is unknown. According to the late Sulastin Sutrisno, the Dutch Government has been unable to track down J. H. Abendanon's descendants.

Ideas

Condition of Indonesian women

In her letters, Raden Adjeng Kartini wrote about her views of the social conditions prevailing at that time, particularly the condition of native Indonesian women. The majority of her letters protest the tendency of Javanese Culture to impose obstacles for the development of women. She wanted women to have the freedom to learn and study. R.A. Kartini wrote of her ideas and ambitions, including Zelf-ontwikkeling, Zelf-onderricht, Zelf-vertrouwen, Zelf-werkzaamheid and Solidariteit. These ideas were all based on Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid, that is, belief in God, wisdom, and beauty, along with Humanitarianisme (humanitarianism) and Nationalisme (nationalism).
Kartini's letters also expressed her hopes for support from overseas. In her correspondence with Estell "Stella" Zeehandelaar, R.A. Kartini expressed her desire to be like a European youth. She depicted the sufferings of Javanese women fettered by tradition, unable to study, secluded, and who must be prepared to participate in polygamous marriages with men they don't know.

Religion

Raden Adjeng Kartini also expressed criticisms about religion[citation needed]. She questioned why the Quran must be memorised and recited without an obligation to actually understand it[citation needed]. She also expressed the view that the world would be more peaceful if there was no religion to provide reasons for disagreements, discord and offence[citation needed]. She wrote "Religion must guard us against committing sins, but more often, sins are committed in the name of religion"[citation needed]
Kartini also raised questions with the way in which religion provided a justification for men to pursue polygamy[citation needed]. For Kartini, the suffering of Javanese women reached a pinnacle when the world was reduced to the walls of their houses and they were prepared for a polygamous marriage.[citation needed]

Vegetarian Lifestyle

It is known from her letters dated October 1902 to Abendanon and her husband that at the age of 23, Raden Adjeng Kartini had a mind to live a vegetarian life. "It has been for sometime that we are thinking to do it (to be a vegetarian), I have even eaten only vegetables for years now, but I still don't have enough moral courage to carry on. I am still too young." R.A. Kartini once wrote.
She also emphasized the relationship between this kind of lifestyle with religious thoughts. She also quoted, "Living a life as vegetarian is a wordless prayer to the Almighty."[4]

Further studies and teaching

Raden Adjeng Kartini loved her father deeply although it is clear that her deep affection for him became yet another obstacle to the realisation of her ambitions. He was sufficiently progressive to allow his daughters schooling until the age of 12 but at that point the door to further schooling was firmly closed. In his letters, her father also expressed his affection for R.A. Kartini. Eventually, he gave permission for R.A. Kartini to study to become a teacher in Batavia (now Jakarta), although previously he had prevented her from continuing her studies in the Netherlands or entering medical school in Batavia.
R.A. Kartini's desire to continue her studies in Europe was also expressed in her letters. Several of her pen friends worked on her behalf to support Kartini in this endeavour. And when finally Kartini's ambition was thwarted, many of her friends expressed their disappointment. In the end her plans to study in the Netherlands were transmuted into plans to journey to Batavia on the advice of Mrs. Abendanon that this would be best for R.A. Kartini and her younger sister, R.Ayu Rukmini.
Nevertheless, in 1903 at the age of 24, her plans to study to become a teacher in Batavia came to nothing. In a letter to Mrs. Abendanon, R.A. Kartini wrote that the plan had been abandoned because she was going to be married... "In short, I no longer desire to take advantage of this opportunity, because I am to be married..". This was despite the fact that for its part, the Dutch Education Department had finally given permission for R.A. Kartini and R.Ay. Rukmini to study in Batavia.
As the wedding approached, R.A. Kartini's attitude towards Javanese traditional customs began to change. She became more tolerant. She began to feel that her marriage would bring good fortune for her ambition to develop a school for native women. In her letters, R.A. Kartini mentioned that not only did her esteemed husband support her desire to develop the woodcarving industry in Jepara and the school for native women, but she also mentioned that she was going to write a book. Sadly, this ambition was unrealised as a result of her premature death in 1904 at the age of 25.

adat istiadat jawa


ADAT ISTIADAT JAWA (Manusia Jawa Sejak Dalam Kandungan Sampai Wafat)

Lahir Dan Mendewasakan Anak
Mupu, artinya memungut anak, yang secara magis diharapkan dapat menyebabkan hamilnya si Ibu yang memungut anak, jika setelah sekian waktu dirasa belum mempunyai anak juga atau akhirnya tidak mempunyai anak. Orang Jawa cenderung memungut anak dari sentono (masih ada hubungan keluarga), agar diketahui keturunan dari siapa dan dapat diprediksi perangainya kelak yang tidak banyak menyimpang dari orang tuanya.
Syarat sebelum mengambil keputusan mupu anak, diusahakan agar mencari pisang raja sesisir yang buahnya hanya satu, sebab menurut gugon tuhon (takhayul yang berlaku) jika pisang ini dimakan akan nuwuhaken (menyebabkan) jadinya anak pada wanita yang memakannya. Anhinga, bisa dimungkinkan hamil, dan tidak harus memungut anak.
Pada saat si Ibu hamil, jika mukanya tidak kelihatan bersih dan secantik biasanya, disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki, dan demikian sebaliknya jika anaknya perempuan.
Sedangkan di saat kehamilan berusia 7 (tujuh) bulan, diadakan hajatan nujuhbulan atau mitoni. Disiapkanlah sebuah kelapa gading yang digambari wayang dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih(supaya si bayi seperti Kamajaya jika laki-laki dan seperti Kamaratih jika perempuan), kluban/gudangan/uraban (taoge, kacang panjang, bayem, wortel, kelapa parut yang dibumbui, dan lauk tambahan lainnya untuk makan nasi),dan rujak buah.
Disaat para Ibu makan rujak, jika pedas maka dipastikan bayinya nanti laki-laki. Sedangkan saat di cek perut si Ibu ternyata si bayi senang nendang-nendang, maka itu tanda bayi laki-laki.
Lalu para Ibu mulai memandikan yang mitoni disebut tingkeban, didahului Ibu tertua, dengan air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati, kenanga dan kantil), dimana yang mitoni berganti kain sampai 7 (tujuh) kali. Setelah selesai baru makan nasi urab, yang jika terasa pedas maka si bayi diperkirakan laki-laki.
Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar bisa mendem jero lan mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia memiliki kedudukan baik di dalam masyarakat). Dan untuk memperkuat keinginan itu, biasanya si calon Bapak selalu berdo’a memohon kepada Tuhan.
Slametan pertama berhubung lahirnya bayi dinamakan brokohan, yang terdiri dari nasi tumpeng dikitari uraban berbumbu pedas tanda si bayi laki-laki) dan ikan asin goreng tepung, jajanan pasar berupa ubi rebus, singkong, jagung, kacang dan lain-lain, bubur merah-putih, sayur lodeh kluwih/timbul agar linuwih (kalau sudah besar terpandang). Ketika bayi berusia 5 (lima) hari dilakukan slametan sepasaran, dengan jenis makanan sama dengan brokohan. Bedanya dalam sepasaran rambut si bayi di potong sedikit dengan gunting dan bayi diberi nama, misalnya bernama Kent Risky Yuwono.
Saat diteliti di almanak Jawa tentang wukunya, ternyata Kent Risky Yuwono berwuku tolu, yakni wuku ke-5 dari rangkaian wuku yang berjumlah 30 (tiga puluh). Menurut wuku tolu maka Kent Risky Yuwono berdewa Batara Bayu, ramah-tamah walau bisa berkeras hati, berpandangan luas, cekatan dalam menjalankan tugas serta ahli di bidang pekerjaannya, kuat bergadang hingga pagi, pemberani, banyak rejekinya, dermawan, terkadang suka pujian dan sanjungan yang berhubungan dengan kekayaannya.
Slametan selapanan yaitu saat bayi berusia 35 (tiga puluh lima) hari, yang pada pokoknya sama dengan acara sepasaran. Hanya saja disini rambut bayi dipotong habis, maksudnya agar rambut tumbuh lebat. Setelah ini, setiap 35 (tiga puluh lima) hari berikutnya diadakan acara peringatan yang sama saja dengan acara selapanan sebelumnya, termasuk nasi tumpeng dengan irisan telur ayam rebus dan bubur merah-putih.
Peringatan tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh lima) hari sedikit istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan ke atas tanah. Untuk itu diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai selera. Jika bayinya laki-laki, maka di dalam kurungan juga diberi mainan anak-anak dan alat tulis menulis serta lain-lainnya (jika si bayi ambil pensil maka ia akan menjadi pengarang, jika ambil buku berarti suka membaca, jika ambil kalung emas maka ia akan kaya raya, dan sebagainya) dan tangga dari batang pohon tebu untuk dinaiki si bayi tapi dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian setelah itu si Ibu melakukan sawuran duwit (menebar uang receh) yang diperebutkan para tamu dan anak-anak yang hadir agar memperoleh berkah dari upacara tedak siten.
Setelah si anak berusia menjelang sewindu atau 8 (delapan) tahun, belum juga mempunyai adik, maka perlu dilakukan upacara mengadakan wayang kulit yang biasa acara semacam ini dinamakan ngruwat agar bebas dari marabahaya Biasanya tentang cerita Kresno Gugah yang dilanjutkan dengan cerita Murwakala.
Saat menjelang remaja, tiba waktunya ditetaki/khitan/sunat. Setibanya di tempat sunat (dokter atau dukun/bong), sang Ibu menggendong si anak ke dalam ruangan seraya mengucapkan kalimat: laramu tak sandang kabeh (sakitmu saya tanggung semua).
Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya dalam satuan windu, yaitu setiap 8 (delapan) tahun. Peristiwa ini dinamakan windon, dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan mengadakan slametan bubur merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8 (delapan) telur ayam rebus sebagai lambang usia. Tapi peringatan harus dilakukan sehari atau 2 (dua) hari setelah hari kelahiran, yang diyakini agar usia lebih panjang. Kemudian saat peringatan 2 (dua) windu, si anak sudah dianggap remaja/perjaka atau jaka, suaranya ngagor-agori (memberat). Saat berusia 32 (tiga puluh dua ) tahun yang biasanya sudah kawin dan mempunyai anak, hari lahirnya dirayakan karena ia sudah hidup selama 4 (empat) windu, maka acaranya dinamakan tumbuk alit (ulang tahun kecil). Sedangkan ulang tahun yang ke 62 (enam puluh dua) tahun disebut tumbuk ageng.
aat dewasa, banyak congkok atau kasarnya disebut calo calon isteri, yang membawa cerita dan foto gadis. Tapi si anak dan orang tuanya mempunyai banyak pertimbangan yang antara lain: jangan mbokongi (menulang-punggungi sebab keluarga si gadis lebih kaya) walau ayu dan luwes karena perlu mikir praja (gengsi), jangan kawin dengan sanak-famili walau untuk nggatuake balung apisah (menghubungkan kembali tulang-tulang terpisah/mempererat persaudaraan) dan bergaya priyayi karena seandainya cerai bisa terjadi pula perpecahan keluarga, kalaupun seorang ndoro (bangsawan) tapi jangan terlalu tinggi jenjang kebangsawanannya atau setara dengan si anak serta sederhana dan menarik hati. Lagi pula si laki-laki sebaiknya harus gandrung kapirangu (tergila-gila/cinta).
Melamar
Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan.
Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup.
Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu regil atau tumplak punjen.
Perkawinan
rang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan adalah pada pihak wanitanya, sedangkan pihak laki-laki biasanya cukup memberikan sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak perempuan, di luar terkadang ada pemberian sejumlah perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri. Selain itu saat acara ngunduh (acara setelah perkawinan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong isteri ke rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki, walau biasanya sederhana.
Dalam perkawinan harus dicari hari “baik”, maka perlu dimintakan pertimbangan dari ahli hitungan hari “baik” berdasarkan patokan Primbon Jawa. Setelah diketemukan hari baiknya, maka sebulan sebelum akad nikah, secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup perkawinan, dengan diurut dan diberi jamu oleh ahlinya. Ini dikenal dengan istilah diulik, yaitu mulai dengan pengurutan perut untuk menempatkan rahim dalam posisi tepat agar dalam persetubuhan pertama dapat diperoleh keturunan, sampai dengan minum jamu Jawa yang akan membikin tubuh ideal dan singset.
Selanjutnya dilakukan upacara pasang tarub (erat hubungannya dengan takhayul) dan biasanya di rumah sendiri (kebiasaan di gedung baru mulai tahun 50-an), dari bahan bambu serta gedek/bilik dan atap rumbia yang di masa sekarang diganti tiang kayu atau besi dan kain terpal. Dahulu pasang tarub dikerjakan secara gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi pula karena perkawinan ada di gedung, maka pasang tarub hanya sebagai simbolis berupa anyaman daun kelapa yang disisipkan dibawah genting. Dalam upacara pasang tarub yang terpenting adalah sesaji. Sebelum pasang tarub harus diadakan kenduri untuk sejumlah orang yang ganjil hitungannya (3 – 9 orang). Do’a oleh Pak Kaum dimaksudkan agar hajat di rumah ini selamat, yang bersamaan dengan ini ditaburkan pula kembang setaman, bunga rampai di empat penjuru halaman rumah, kamar mandi, dapur dan pendaringan (tempat menyimpan beras), serta di perempatan dan jembatan paling dekat dengan rumah. Diletakkan pula sesaji satu ekor ayam panggang di atas genting rumah. Bersamaan itu pula rumah dihiasi janur, di depan pintu masuk di pasang batang-batang tebu, daun alang-alang dan opo-opo, daun beringin dan lain-lainnya, yang bermakna agar tidak terjadi masalah sewaktu acara berlangsung. Di kiri kanan pintu digantungkan buah kelapa dan disandarkan pohon pisang raja lengkap dengan tandannya, perlambang status raja.
Siraman (pemandian) dilakukan sehari sebelum akad nikah, dilakukan oleh Ibu-ibu yang sudah berumur serta sudah mantu dan atau lebih bagus lagi jika sudah sukses dalam hidup, disiramkan dari atas kepala si calon pengantin dengan air bunga seraya ucapan “semoga selamat di dalam hidupnya”. Seusai upacara siraman, makan bersama berupa nasi dengan sayur tumpang (rebusan sayur taoge serta irisan kol dan kacang panjang yang disiram bumbu terbuat dari tempe dan tempe busuk yang dihancurkan hingga jadi saus serta diberi santan, salam, laos serta daun jeruk purut yang dicampuri irisan pete dan krupuk kulit), dengan pelengkap sosis dan krupuk udang.
Midodareni adalah malam sebelum akad nikah, yang terkadang saat ini dijadikan satu dengan upacara temu. Pada malam midodareni sanak saudara dan para tetangga dekat datang sambil bercakap-cakap dan main kartu sampai hampir tengah malam, dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena campuran santan, opor ayam, sambel goreng, lalab timun dan kerupuk).
Upacara akad nikah, harus sesuai sangat (waktu/saat yang baik yang telah dihitung berdasarkan Primbon Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon pengantin tidak memakai subang/giwang (untuk memperlihatkan keprihatinan mereka sehubungan dengan peristiwa ngentasake/mengawinkan anak, yang sekarang jarang diindahkan yang mungkin karena malu). Biasanya acara di pagi hari, sehingga harus disediakan kopi susu dan sepotong kue serta nasi lodopindang (nasi lodeh dengan potongan kol, wortel, buncis, seledri dan kapri bercampur brongkos berupa bumbu rawon tapi pakai santan) yang dilengkapi krupuk kulit dan sosis. Disaat sedang sarapan, Penghulu beserta stafnya datang, ikut sarapan dan setelah selesai langsung dilakukan upacara akad nikah.
Walau akad nikah adalah sah secara hukum, tetapi dalam kenyataannya masih banyak perhatian orang terpusat pada upacara temu, yang terkadang menganggap sebagai bagian terpenting dari perayaan perkawinan. Padahal sebetulnya peristiwa terpenting bagi calon pengantin adalah saat pemasangan cincin kawin, yang setelah itu Penghulu menyatakan bahwa mereka sah sebagai suami-isteri. Temu adalah upacara adat dan bisa berbeda walau tak seberapa besar untuk setiap daerah tertentu, misalnya gaya Solo dan gaya Yogya.
Misalnya dalam gaya Solo, di hari “H”nya, di sore hari. Tamu yang datang paling awal biasanya sanak-saudara dekat, agar jika tuan rumah kerepotan bisa dibantu. Lalu tamu-tamu lainnya, yang putri langsung duduk bersila di krobongan, dengan lantai permadani dan tumpukan bantal-bantal (biasanya bagi keluarga mampu), sedang yang laki-laki duduk di kursi yang tersusun berjajar di Pendopo (sekarang ini laki-laki dan perempuan bercampur di Pendopo semuanya). Para penabuh gamelan tanpa berhenti memainkan gending Kebogiro, yang sekitar 15 (lima belas) menit menjelang kedatangan pengantin laki-laki dimainkan gending Monggang. Tapi saat pengantin beserta pengiring sudah memasuki halaman rumah/gedung, gending berhenti, dan para tamu biasanya tahu bahwa pengantin datang. Lalu tiba di pendopo, ia disambut dan dituntun/digandeng dan diiringi para orang-tua masih sejawat orang tuanya yang terpilih
Sementara itu, pengantin perempuan yang sebelumnya sudah dirias dukun nganten (rambut digelung dengan gelungan pasangan, dahi dan alis di kerik rambutnya, dsb.nya) untuk akad nikah, dirias selengkapnya lagi di dalam kamar rias. Lalu setelah siap, ia dituntun/digandeng ke pendopo oleh dua orang Ibu yang sudah punya anak dan pernah mantu, ditemukan dengan pengantin laki-laki (waktu diatur yaitu saat pengantin pria tiba di rumah/gedung, pengantin perempuan pun juga sudah siap keluar dari kamar rias), dengan iringan gending Kodokngorek. Sedangkan pengantin laki-laki dituntun ke arah krobongan.
Ketika mereka sudah berjarak sekitar 2 (dua) meter, mereka saling melempar dengan daun sirih yang dilipat dan diikat dengan benang, yang siapa saja melempar lebih kena ke tubuh diartikan bahwa dalam hidup perkawinannya akan menang selalu. Lalu yang laki-laki mendekati si wanita yang berdiri di sisi sebuah baskom isi air bercampur bunga. Di depan baskom di lantai terletak telur ayam, yang harus diinjak si laki-laki sampai pecah, dan setelah itu kakinya dibasuh dengan air bunga oleh si wanita sambil berjongkok. Kemudian mereka berjajar, segera Ibu si wanita menyelimutkan slindur/selendang yang dibawanya ke pundak kedua pengantin sambil berucap: Anakku siji saiki dadi loro (anakku satu sekarang menjadi dua). Selanjutnya mereka dituntun ke krobongan, dimana ayah dari pengantin perempuan menanti sambil duduk bersila, duduk di pangkuan sang ayah sambil ditanya isterinya: Abot endi Pak? (berat mana Pak ?), yang dijawab sang suami: Pada dene (sama saja). Selesai tanya jawab, mereka berdiri, si laki-laki duduk sebelah kanan dan si perempuan sebelah kiri, dimana si dukun pengantin membawa masuk sehelai tikar kecil berisi harta (emas, intan, berlian) dan uang pemberian pengantin laki-laki yang dituangkan ke tangan pengantin perempuan yang telah memegang saputangan terbuka, dan disaksikan oleh para tamu secara terbuka. Inilah yang disebut kacar-kucur.
Guna lambang kerukunan di dalam hidup, dilakukan suap-menyuap makanan antara pengantin. Bersamaan dengan ini, makanan untuk tamu diedarkan (sekarang dengan cara prasmanan) berurutan satu persatu oleh pelayan. Setelah itu, dilakukan acara ngabekten (melakukan sembah) kepada orang tua pengantin perempuan dan tilik nganten (kehadiran orang tua laki-laki ke rumah/gedung setelah acara temu selesai yang langsung duduk dikrobongan dan disembah kedua pengantin).
Lalu setelah itu dilakukan kata sambutan ucapan terima kasih kepada para tamu dan mohon do’a restu, yang kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan berupa suara gending-gending dari gamelan, misalnya gending ladrang wahana, lalu tayuban bagi jamannya yang senang acara itu, dsb.nya.
Mati/Wafat
Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak, menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang menarik tapi mengundang kontraversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama dengan mayatnya).
Sebelum mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil misalnya), terlebih dahulu dilakukan brobosan (jalan sambil jongkok melewati bawah mayat) dari keluarga tertua sampai dengan termuda.
Sedangkan meskipun slametan orang mati, mulai geblak (waktu matinya), pendak siji (setahun pertama), pendak loro (tahun kedua) sampai dengan nyewu (seribu hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan dan segowuduk, tapi saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate dan gule.
Nyewu dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roh seseorang yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke alam baka akan merasa senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang berarti selesai berpuasanya.
Bibit-Bobot-Bebet
Fatwa leluhur tersebut bermaksud agar orangtua malaksanakan pemilihan yang seksama akan calon menantunya atau bagi yang berkepentingan memilih calon teman hidupnya. Pemilihan ini jangan dianggap sebagai budaya pilih-pilih kasih, tapi sebenarnya lebih kepada kecocokan multi dimensi antara sepasang anak manusia. Kriteria yang dimaksud yaitu: Bibit: yang berarti biji/benih. Bebet: yang berarti jenis/tipe. Bobot: yang berarti nilai/kekuatan.
Untuk memilih menantu pria atau wanita, memilih suami atau isteri oleh yang berkepentingan, sebaiknya memilih yang berasal dari benih (bibit) yang baik, dari jenis (bebet) yang unggul dan yang nilai (bobot) yang berat.
Fatwa itu mengandung anjuran pula, janganlah orang hanya semata-mata memandang lahiriyah yang terlihat berupa kecantikan dan harta kekayaan. Pemilihan yang hanya berdasarkan wujud lahiriah dan harta benda dapat melupakan tujuan “ngudi tuwuh” mendapatkan keturunan yang baik, saleh, berbudi luhur, cerdas, sehat wal afiat, dsb.
Cinta, Waspada, Dan Pertunangan
Peribahasa mengatakan: “cinta itu buta”. Berpedoman, bahwa hidup suami isteri itu mengandung cita-cita luhur yaitu mendapatkan keturunan yang baik, maka janganlah menuruti kata peribahasa tersebut. Pada hakekatnya peribahasa itu sendiri pun mengandung “peringatan”. Memperingtkan, agar supaya dalam bercinta tidak buta mata hati, mata kepala, dan pikiran.
Cinta kasih yang berhubungan erat dengan cita-cita justru harus diliputi oleh waspada dalam hati dan pikiran. Waspada akan tingkah kelakuan satu sama lain dan waspada akan penggoda di dalam hatinya sendiri.
Kewaspadaan itu menghendaki pengamatan dan penghayatan satu sama lain mengenai sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting yang sudah pasti dijumpai dalam hidup antara lain soal keluarga, agama, kemasyarakatan, dan sebagainya.
Perbedaan sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting (prinsip) seperti diatas, niscaya akan mengakibatkan kesukaran dikemudian hari. Persesuaian haruslah timbul dari keyakinan dan tidak dengan membohongi diri sendiri, misalnya dengan berjanji atau memberi berkesanggupan dengan sumpah lisan atau tulisan, pernikahan di muka kantor pencatatan sipil, dan lain sebagainya tetapi di dalam hati masih ada keraguan.
Pertunangan dengan atau tanpa tukar cincin adalah usaha untuk mendekatkan pria dan wanita yang menjalin kisah dan hendak hidup sebagai suami isteri. Pertunangan tidak boleh diartikan lalu boleh bergaul sebebas-bebasnya hingga perbuatan sebagai suami isteri. Dalam hal itu calon isteri haruslah teguh hati, mencegah jangan sampai terjamah kehormatannya. Ingatlah, bahwa calon suami atau istri itu bukan atau belum suami atau istrinya.
Sekali terjadi peristiwa dan sang wanita hamil tidak mustahil menjadi persoalan sebagai pangkal persengketaan. Kalau sang pria ingkar, pertunangan putus, sang wanita menjadi korban.

lirik lagu soleram

Soleram - Provinsi Riau ::: Lirik Lagu Daerah dan Musik Nasional Indonesia

Soleram
Soleram
Soleram
Anak yang manis
Anak manis janganlah dicium sayang
Kalau dicium merah lah pipinya
Satu dua
Tiga dan empat
Lima enam
Tujuh delapan
Kalau tuan dapat kawan baru sayang
Kawan lama ditinggalkan jangan

huruf jawa

seni tari

MEMPERKENALKAN TARI ANAK

 Memperkenalkan Tari pada Anak

Bagaimana teknik memperkenalkan tari pada anak yang tepat, sehingga anak tidak jenuh untuk mempelajarinya . Hal ini harus kita pahami secara utuh apa tari itu, bagaimana menari itu, untuk siapa tarian itu, dan di mana kita menari.
Empat hal inilah sebagai dasar untuk pengenalan tari kepada anak. Pemahaman awal sangat perlu, sehingga tari tidak hanya dianggap sebagai
keterampilan ansich. Anggapan sementara pihak yang mengatakan bahwa pelajaran tari hanya sebagai pelajaran praktek tidak beralasan, karena kenyataan tari juga memiliki latar belakang sejarah yang sangat kompleks terkait dengan perjalanan budaya suatu bangsa. Namun yang lebih penting guru harus mampu menunjukkan bahwa tari adalah salah satu sumber pendidikan yang efektif diterapkan untuk anak.
Pelajaran tari bukan bertujuan untuk mempelajari sikap gerak saja, namun juga sikap mental, kedisiplinan, sehingga pendidikan tari itu menjadi media pendidikan.
Dalam bukunya tentang Pendidikan Ki Hadjar Dewantara menyebutkan bahwa tari anak-anak akan memberi pengaruh terhadap ketajaman pikiran, kehalusan rasa dan kekuatan kemauan serta memperkuat rasa kemerdekaan. Rudolph Steiner menyebut bahwa pengaruh ritme atau wiromo dalam iringan tari akan dapat digunakan sebagai media untuk mencapai budipekerti yang harmonis.
Dari dasar-dasar tersebut dapat ditunjukkan bahwa pendidikan tari adalah sarana bagi usaha pembentukan pribadi anak. Hal ini mengingat usia anak-anak di tingkat Sekolah Dasar secara umum haus akan ekspresi, hal ini harus disalurkan dalam pendidikan kesenian, sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam penuangan ekspresi ketika anak SD itu menginjak sekolah lanjut. Di sinilah pentingnya pelajaran kesenian dipahami sebagai salah satu kebutuhan hidup manusia.
Guru (SD) dalam hal ini memiliki peran sangat vital untuk membentengi atau membuat filterisasi pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Seni sebagai bagian dari isi kebudayaan merupakan ungkapan ekspresi jiwa dari pelakunya, terbukti mampu mengakumulasikan beberapa keteladanan yang dituangkan dalam makna-makna simbolis lewat berbagai medium, salah satunya adalah gerak.
Untuk memahami seni secara utuh tidak dapat lepas dari faktor-faktor pendukung yang akan membentuk karakteristik seni itu sendiri. Ungkapan ekspresi yang ada dalam seni secara umum akan terkait dengan tingkat
emosional dari pembuat ataupun pelakunya. Oleh sebab itu akan sangat berbahaya jika memberikan materi seni kepada anak tidak mempertimbangkan faktor psikologis dan tingkat perkembangan emosional anak.

III. Materi Gerak Dasar Tari untuk Anak
Sebelum membicarakan materi gerak dasar tari untuk anak, perlu kiranya diketahui lebih dulu tujuan tari itu diberikan kepada anak, sehingga visi dan misi pembelajaran tari kepada anak dapat tercapai.
Umum:
  1.  Penanaman dan pemupukan jiwa berkebudayaan nasional dalamarti luas.
  2. Penanaman dan pengembangan rasa estetis kepada murid
  3.  Memberi bimbingan kemampuan anak mengungkapkan rasa estetisnya
  4. Tercapainya ketajaman cipta, halusnya rasa, kuatnya kemauan serta kemerdekaan jiwa.
Khusus:
  1.  Memberi tempat penyaluran ekspresi gerak
  2.  Membina apresiasi seni
  3.  Memberi kecakapan dasar-dasar gerak tari
Dari tujuan tersebut jelas bahwa tujuan mempelajari gerak tari bukan merupakan prioritas utama. Namun yang lebih penting adalah aspek di balik pelajaran tari kaitannya dengan masalah budi pekeri dan perilaku anak.
Untuk itulah anak jangan dipaksakan menerima materi yang tidak sesuai dengan tingkat usia yang dimiliki. Hal ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan psikologis anak dalam menapak masa depan. tari dalam tataran ini harus mampu merangsang dan mengembangkan imajinasi serta memberikan kebebasan bagi anak-anak untuk menemukan sesuatu (Murgiyanto, 1993: 22)
Materi tari untuk anak dapat kita klasifikasikan sebagai berikut:

1. Tari yang disusun berdasarkan permainan anak keseharian (dolanan)
2. Tari yang disusun atas dasar teks lagu
3. Tari yang disusun atas dasar lagu
4. Imitasi gerak dalam kehidupan sehari-hari
(Empat tahapan tersebut untuk kelas I s/d III SD)

5. Imitasi tari tradisional
6. Tari tradisional yang disesuaikan dengan jiwa anak
7. Tari tradisional yang disesuaikan dengan kemampuan anak

(Kategori ini lebih tepat untuk kelas IV s/d VI SD).
Bagaimana mengajarkan tari untuk anak yang efektif ? Kita perlu memahami pembatasan kelas dan usia anak. Ini sangat perlu diketahui. Untuk memberikan materi kelas I s/d III kita dapat menerapkan sistem pelajaran imitasi (menirukan) gerak bebas dengan mengutamakan ketepatan irama. Baru kemudian menirukan gerak dengan ketepatan gerak. Dan terakhir adalah improvisasi secara bebas.
Untuk kelas IV s/d VI, secara umum metode di atas dapat diterapkan, namun dengan penekanan pada unsur kualitas gerak.

pandawa

Pandawa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Para Pandawa dan istri mereka dalam lukisan India. Keterangan: Nakula dan Sadewa (kiri-kanan atas), Arjuna (kanan bawah), Bima (kiri bawah), Yudistira dan Dropadi (tengah).
Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta (Dewanagari: पाण्डव; Pāṇḍava), yang secara harfiah berarti anak Pandu (Dewanagari: पाण्डुIASTPāṇḍu), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang putera darinya.
Para Pandawa merupakan tokoh penting dalam bagian penting dalam wiracarita Mahabharata, yaitu pertempuran besar di daratan Kurukshetra antara para Pandawa dengan para Korawa serta sekutu-sekutu mereka. Kisah tersebut menjadi kisah penting dalam wiracarita Mahabharata, selain kisah Pandawa dan Korawa main dadu.







































































































































































batik mega mendung

Batik Mega Mendung di London Fashion Week

VIVAnews – Batik Mega Mendung! Mungkin itu yang spontan terlintas saat menyaksikan corak menyerupai awan berarak-arak di langit, yang melekat pada penampilan sejumlah model di London Fashion Week kali ini.
Corak batik khas Cirebon itu mewujud melalui kreasi Julien Macdonald yang memainkan gradasi warna biru di atas lembar kain putih. Menguatkan karakter yang ia bangun lewat serangkaian koleksi spring summer 2012: halter dress, setelan tuxedo jackets, waistcoat dresses, dan topi ala militer.
Julien tidak menyebut corak tersebut sebagai Mega Mendung. Ia hanya mengatakan bahwa kreasinya terinspirasi dari desain tato cetak Asia, yang ia sebut sebagai tato naga. “Aku ingin mengajak orang-orang yang menikmati karya saya sedikit berkelana ke Asia,” katanya, seperti dikutip dari vogue.com.
Pikiran Julian tampaknya melayang ke China saat menyebut sentuhan Asia pada karyanya. Mungkin ada benarnya. Menilik sejarah batik Mega Mendung memang selalu mengarah pada kedatangan bangsa China ke wilayah Cirebon di masa lalu. Menurut filosofi China, awan melambangkan dunia atas yang merupakan gambaran dunia luas, bebas, dan transidental.
Tak hanya memikat Julien. Corak Mega Mendung juga pernah dijadikan cover sebuah buku batik terbitan luar negeri berjudul ‘Batik Design‘, karya seorang berkebangsaan Belanda bernama Pepin van Roojen. (adi)

alat musik tradisional

1. Angklung (dari Jawa Barat)

Cara memainkan angklung: dengan cara diyoyang atau digetarkan sehingga menghasilkan nada tertentu.
2007 07 0762 gamelan2 300x200 10 Alat Musik Tradisional di Indonesia

2. Gamelan Jawa (dari Jawa Tengah)

Cara memainkan Gamelan Jawa: hanya dengan cara dipukul.



clip image006 10 Alat Musik Tradisional di Indonesia

3. Kolintang (dari daerah Minahasa/Sulewesi Utara)

Minimal harus dimainkan 6 orang dengan fungsi masing masing,
misalnya: memegang gitar, melodi, ukelele, bas dan banjo.
Cara memainkan kolintang dengan cara dipukul.



clip image008 10 Alat Musik Tradisional di Indonesia

4. Rebana (dari Lombok)

Cara memainkan rebana dengan cara dipukul.
clip image010 10 Alat Musik Tradisional di Indonesia

5. Kendang (dari Maluku)

Cara memainkan kendang dengan cara dipukul.
clip image012 thumb 10 Alat Musik Tradisional di Indonesia

6. Sasando

Sasando sebuah alat musik tradisional asal pulau Timor, NTT. Sasando adalah alat musik berdawai yang memiliki keunikan dalam bentuk dan suaranya. Salah satu jenis kekayaan bangsa yang memiliki nilai seni tinggi. Asal tepat dari alat musik ini adalah dari sebuah pulau bernama pulau Rote. Cara memainkannya dengan cara dipetik.

clip image014 thumb 10 Alat Musik Tradisional di Indonesia

7. Djembe dari Bali

Djembe (baca JEM BE dengan E seperti ENAK), merupakan alat musik perkusi asal Afrika Barat dan dipukul menggunakan tangan kosong (seperti conga). Djembe berukuran macam2, dari 5″ sampai 18″ (diameter kulitnya).
Bentuk djembe yang seperti cawan membuat djembe memiliki suara bas yang bulat. Pemain djembe yang berpengalaman bisa membuat bermacam2 nada (tinggi/rendah).






clip image016 thumb 10 Alat Musik Tradisional di Indonesia













8. Serune Kalee

(Serunai)
Serune Kalee merupakan isntrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.
clip image018 thumb 10 Alat Musik Tradisional di Indonesia






9. Gordang

Gordang adalah alat musik tradisional yang berasal dari Sumatera Utara, Medan. Alat ini dimainkan dengan cara dipukul.
clip image019 thumb 10 Alat Musik Tradisional di Indonesia

10. Pick Gamelan Bali (Rindik)

RINDIK : adalah salah satu alat musik tradisional Bali. Yang terbuat dari bambu yang pada nadanya adalah berdasarkan selendro. Alat musik ini di pergunakan pada upacara perkawinan dan acara pertunjukan yang di kenal dengan nama “joged Bumbung”Tarian joged bumbung ini biasany di iringi oleh sepuluh atau duapuluh orang yang memainkan gamelan dan termasuk para penabuhnya. Dan bisa juga di pakai atau di mainkan di hotel-hotel untuk mengibur para tamu yang berkunjung ke Bali.

budaya tasikmalaya

Budaya Tasikmalaya



Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih 4 ha. Lokasi obyek wisata Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya – Bandung melalui Garut, yaitu kurang lebih pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya.

Kampung Naga dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan Ieluhumya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.

Secara administratif Kampung Naga termasuk kampung Legok Dage Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.
Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer.
Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga. Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur.

tasikkk

(naga vilage)

Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.

Daya tarik obyek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan yang unik dari komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyrakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memlihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besr Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan Wisatawan boleh mengikuti acara tersebut dengan syarat harus patuh pada aturan disana.

Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.

lukis

Seni lukis adalah salah catu cabang dari ilmu seni rupa,seni lukis mengenal adanya Aliran atau gaya visual dalam seni lukis. Disini akan saya tulis beberapa aliran dalam seni lukis, pengertian, serta tokoh ( pelukis) yang cukup terkenal yang mewakili aliran tersebut.


Aliran-aliran  Dalam Seni Lukis
Naturalisme Yaitu suatu bentuk karya seni lukis (seni rupa) dimana seniman berusaha melukiskan segala sesuatu sesuai dengan nature atau alam nyatan, artinya disesuaikan dengan tangkapan mata kita. Supaya lukisan yang dibuat benar – benar mirip atau persis dengan nyata, maka susunan, perbandingan, perspektif, tekstur, pewarnaan serta gelap terang dikerjakan seteliti mungkin, setepat –setepanya. di dalam seni rupa adalah usaha menampilkan objek realistis dengan penekanan seting alam. Hal ini merupakan pendalaman labih lanjut dari gerakan realisme pada abad 19 sebagai reaksi atas kemapanan romantisme.
Salah satu perupa naturalisme di Amerika adalah William Bliss Baker, yang lukisan pemandangannya dianggap lukisan realis terbaik dari gerakan ini. Salahs atu bagian penting dari gerakan naturalis adalah pandangan Darwinisme mengenai hidup dan kerusakan yang telah ditimbulkan manusia terhadap alam.


Realisme di dalam seni rupa berarti usaha menampilkan subjek dalam suatu karya sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa tambahan embel-embel atau interpretasi tertentu. Maknanya bisa pula mengacu kepada usaha dalam seni rupa unruk memperlihatkan kebenaran, bahkan tanpa menyembunyikan hal yang buruk sekalipun. Pembahasan realisme dalam seni rupa bisa pula mengacu kepada gerakan kebudayaan yang bermula di Perancis pada pertengahan abad 19. Namun karya dengan ide realisme sebenarnya sudah ada pada 2400 SM yang ditemukan di kota Lothal, yang sekarang lebih dikenal dengan nama India.
Realisme sebagai gerakan kebudayaan
Realisme menjadi terkenal sebagai gerakan kebudayaan di Perancis sebagai reaksi terhadap paham Romantisme yang telah mapan di pertengahan abad 19. Gerakan ini biasanya berhubungan erat dengan perjuangan sosial, reformasi politik, dan demokrasi.
Realisme kemudian mendominasi dunia seni rupa dan sastra di Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat di sekitar tahun 1840 hingga 1880. Penganut sastra realisme dari Perancis meliputi nama Honoré de Balzac dan Stendhal. Sementara seniman realis yang terkenal adalah Gustave Courbet dan Jean François Millet.
Realisme dalam seni rupa
Perupa realis selalu berusaha menampilkan kehidupan sehari-hari dari karakter, suasana, dilema, dan objek, untuk mencapai tujuan Verisimilitude (sangat hidup). Perupa realis cenderung mengabaikan drama-drama teatrikal, subjek-subjek yang tampil dalam ruang yang terlalu luas, dan bentuk-bentuk klasik lainnya yang telah lebih dahulu populer saat itu.
Dalam pengertian lebih luas, usaha realisme akan selalu terjadi setiap kali perupa berusaha mengamati dan meniru bentuk-bentuk di alam secara akurat. Sebagai contoh, pelukis foto di zaman renaisans, Giotto bisa dikategorikan sebagai perupa dengan karya realis, karena karyanya telah dengan lebih baik meniru penampilan fisik dan volume benda lebih baik daripada yang telah diusahakan sejak zaman Gothic.
Kejujuran dalam menampilkan setiap detail objek terlihat pula dari karya-karya RembrandtBarbizon School memusatkan pengamatan lebih dekat kepada alam, yag kemudian membuka jalan bagi berkembangnya impresionisme. Di Inggris, kelompok Pre-Raphaelite Brotherhood menolak idealisme pengikut Raphael yang kemudian membawa kepada pendekatan yang lebih intens terhadap realisme. yang dikenal sebagai salah satu perupa realis terbaik. Kemudian pada abad 19, sebuah kelompok di Perancis yang dikenal dengan nama
Teknik Trompe l’oeil, adalah teknik seni rupa yang secara ekstrim memperlihatkan usaha perupa untuk menghadirkan konsep realisme.
Daftar pelukis realisme terkenal
· Karl Briullov
· Ford Madox Brown
· Jean Baptiste Siméon Chardin
· Camille Corot
· Gustave Courbet
· Honoré Daumier
· Edgar Degas
· Thomas Eakins
· Nikolai Ge
· Aleksander Gierymski
· William Harnett
· Louis Le Nain
· Édouard Manet
· Jean-François Millet
· Ilya Yefimovich Repin
Pengertian Ekspresionisme yaitu aliran seni lukis yang mengutamakan kebebasan dalam bentuk dan warna untuk mencurahkan emosi atau perasaan.
Ekspressionisme adalah kecenderungan seorang seniman untuk mendistorsi kenyataan dengan efek-efek emosional. Ekspresionisme bisa ditemukan di dalam karya lukisan, sastra, film, arsitektur, dan musik. Istilah emosi ini biasanya lebih menuju kepada jenis emosi kemarahan dan depresi daripada emosi bahagia.
Pelukis Matthias Grünewald dan El Greco bisa disebut ekspresionis.
Daftar Pelukis Ekspresionisme dari abad 20 yang tergolong adalah:
· Jerman: Heinrich Campendonk, Emil Nolde, Rolf Nesch, Franz Marc, Ernst Barlach, Wilhelm Lehmbruck, Erich Heckel, Karl Schmidt-Rottluff, Ernst Ludwig Kirchner, Max Beckmann, August Macke, Elfriede Lohse-Wächtler, Ludwig Meidner, Paula Modersohn-Becker, Gabriele Münter, dan Max Pechstein.
· Austria: Egon Schiele dan Oskar Kokoschka
· Russia: Wassily Kandinsky dan Alexei Jawlensky
· Netherlands: Charles Eyck, Willem Hofhuizen, Jaap Min, Jan Sluyters, Jan Wiegers dan Hendrik Werkman
· Belgia: Constant Permeke, Gust De Smet, Frits Van den Berghe, James Ensor, Floris Jespers, dan Albert Droesbeke.
· Perancis: Gen Paul dan Chaim Soutine
· Norwegia: Edvard Munch
· Swiss: Carl Eugen Keel
· Indonesia: Affandi







kubisme adalah sebuah gerakan modern seni rupa pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Picasso dan Braque. Prinsip-prinsip dasar yang umum pada kubisme yaitu menggambarkan bentuk objek dengan cara memotong, distorsi, overlap, penyederhanaan, transparansi, deformasi, menyusun dan aneka tampak. Gerakan ini dimulai pada media lukisan dan patung melalui pendekatannya masing-masing
pada kubisme, bentuk –bentuk karyanya menggunakan bentuk –bentuk geometri (segitiga, segiempat, kerucut, kubus, lingkaran dan sebagainya) seniman kubisme sering menggunakan teknik kolase, misalnya menempelkan potongan kertas surat kabar, gambar –gambar poster dan lain- lain.
Kubisme sebagai pencetus gaya nonimitative muncul setelah Picasso dan Braque menggali sekaligus terpengaruh bentuk kesenian primitif, seperti patung suku bangsa Liberia, ukiran timbul (basrelief) bangsa Mesir, dan topeng-topeng suku Afrika. Juga pengaruh lukisan Paul Cezanne, terutama karya still life dan pemandangan, yang mengenalkan bentuk geometri baru dengan mematahkan perspektif zaman Renaisans. Ini membekas pada keduanya sehingga meneteskan aliran baru.
Istilah “Kubis” itu sendiri, tercetus berkat pengamatan beberapa kritikus. Louis Vauxelles (kritikus Prancis) setelah melihat sebuah karya Braque di Salon des Independants, berkomenmtar bahwa karya Braque sebagai reduces everything to little cubes (menempatkan segala sesuatunya pada bentuk kubus-kubus kecil. Gil Blas menyebutkan lukisan Braque sebagai bizzarries cubiques (kubus ajaib). Sementara itu, Henri Matisse menyebutnya sebagai susunan petits cubes (kubus kecil). Maka untuk selanjutnya dipakai istilah Kubisme untuk memberi ciri dari aliran seperti karya-karya tersebut.
Perkembangan awal
Dalam tahap perkembangan awal, Kubisme mengalami fase Analitis yang dilanjutkan pada fase Sintetis. Pada 1908-1909 Kubisme segera mengarah lebih kompleks dalam corak yang kemudian lebih sistematis berkisar antara tahun 1910-1912. Fase awal ini sering diberi istilah Kubisme Analitis karena objek lukisan harus dianalisis. Semua elemen lukisan harus dipecah-pecah terdiri atas faset-fasetnya atau dalam bentuk kubus.
Objek lukisan kadang-kadang setengah tampak digambar dari depan persis, sedangkan setengahnya lagi dilihat dari belakang atau samping. Wajah manusia atau kepala binatang yang diekspos sedemikian rupa, sepintas terlihat dari samping dengan mata yang seharusnya tampak dari depan.
Pada fase Kubisme Analitis ini, para perupa sebenarnya telah membuat pernyataan dimensi keempat dalam lukisan, yaitu ruang dan waktu karena pola perspektif lama telah ditinggalkan.
Bila pada pereiode analitis Braque maupun Picasso masih terbelenggu dalam kreativitas yang terbatas, berbeda pada fase Kubisme Sintetis. Kaum Kubis tidak lagi terpaku pada tiga warna pokok dalam goresan-goresannya. Tema karya-karya mereka pun lebih variatif. Dengan keberanian meninggalkan sudut pandang yang menjadi ciri khasnya untuk beranjak ke tingkat inovatif berikutnya.
Perkembangan karya kaum Kubis selanjutnya adalah dengan perhatian mereka terhadap realitas. Dengan memasukkan guntingan-guntingan kata atau kalimat yang diambil dari suratpaper colle. kabar kemudian direkatkan pada kanvas sehingga membentuk satu komposisi geometris. Eksperimen tempelan seperti ini lazim disebut teknik kolase atau
Daftar Pelukis Kubisme :
* Paul Cezane
* Pablo Picasso
* George Braque
* Metzinger
* Albert Glazez
* But Mochtar
* Moctar Apin
* Fajar Sidik
* Andre Derain
Fauvisme adalah suatu aliran dalam seni lukis yang berumur cukup pendek menjelang dimulainya era seni rupa modern. Nama fauvisme berasal dari kata sindiran “fauve” (binatang liar) oleh Louis Vauxcelles saat mengomentari pameran Salon d’Automne dalam artikelnya untuk suplemen Gil Blas edisi 17 Oktober 1905, halaman 2.
Kepopuleran aliran ini dimulai dari Le Havre, Paris, hingga Bordeaux. Kematangan konsepnya dicapai pada tahun 1906.
Fauvisme adalah aliran yang menghargai ekspresi dalam menangkap suasana yang hendak dilukis. Tidak seperti karya impresionisme, pelukis fauvis berpendapat bahwa harmoni warna yang tidak terpaut dengan kenyataan di alam justru akan lebih memperlihatkan hubungan pribadi seniman dengan alam tersebut.
Konsep dasar fauvisme bisa terlacak pertama kali pada 1888 dari komentar Paul GauguinPaul Sérusier: kepada
“How do you see these trees? They are yellow. So, put in yellow; this shadow, rather blue, paint it with pure ultramarine; these red leaves? Put in vermilion.”
“Bagaimana kau menginterpretasikan pepohonan itu? Kuning, karena itu tambahkan kuning. Lalu bayangannya terlihat agak biru, karena itu tambahkan ultramarine. Daun yang kemerahan? Tambahkan saja vermillion.”
Segala hal yang berhubungan dengan pengamatan secara objektif dan realistis, seperti yang terjadi dalam lukisan naturalis, digantikan oleh pemahaman secara emosional dan imajinatif. Sebagai hasilnya warna dan konsep ruang akan terasa bernuansa puitis. Warna-warna yang dipakai jelas tidak lagi disesuaikan dengan warna di lapangan, tetapi mengikuti keinginan pribadi pelukis.
Penggunaan garis dalam fauvisme disederhanakan sehingga pemirsa lukisan bisa mendeteksi keberadaan garis yang jelas dan kuat. Akibatnya bentuk benda mudah dikenali tanpa harus mempertimbangkan banyak detail.
Pelukis fauvis menyerukan pemberontakan terhadap kemapanan seni lukis yang telah lama terbantu oleh objektivitas ilmu pengetahuan seperti yang terjadi dalam aliran impresionisme, meskipun ilmu-ilmu dari pelukis terdahulu yang mereka tentang tetap dipakai sebagai dasar dalam melukis. Hal ini terutama terjadi pada masa awal populernya aliran ini pada periode 1904 hingga 1907.
Pengaruh
Pengaruh awal dari aliran ini mungkin sekali didapat dari rintisan yang dimulai oleh karya-karya Paul Cezanne, Gustave Moreau, Paul Gauguin, maupun Vincent van Gogh. Meskipun pelukis tersebut tidak melibatkan diri kepada gerakan fauvisme dan berbeda era dengan dimulainya aliran ini, namun karyanya menjadi acuan bagi pelukis muda yang nantinya akan menjadi pelukis fauvis.
Meskipun hanya berumur pendek, aliran fauvisme menjadi tonggak konsep seni rupa modern berikutnya.
Daftar Pelukis Fauvisme :
· Henri Matisse
· André Derain
· Georges Braque
· Albert Marquet
· Henri Manguin
· Charles Camoin
· Henri Evenepoel
· Jean Puy
· Maurice de Vlaminck
· Raoul Dufy
· Othon Friesz
· Georges Roua
diatas adalah beberapa aliran seni lukis ynag pernah berkembang dan menurut saya masih akan ada lagi aliran yanag berkembang dari seni lukis hingga kedepannya akan muncul   banyak paham dan gaya visual yang akan muncul

Para Pandawa dan istri mereka dalam lukisan India. Keterangan: Nakula dan Sadewa (kiri-kanan atas), Arjuna (kanan bawah), Bima (kiri bawah), Yudistira dan Dropadi (tengah).
Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta (Dewanagari: पाण्डव; Pāṇḍava), yang secara harfiah berarti anak Pandu (Dewanagari: पाण्डुIASTPāṇḍu), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang putera darinya.
Para Pandawa merupakan tokoh penting dalam bagian penting dalam wiracarita Mahabharata, yaitu pertempuran besar di daratan Kurukshetra antara para Pandawa dengan para Korawa serta sekutu-sekutu mereka. Kisah tersebut menjadi kisah penting dalam wiracarita Mahabharata, selain kisah Pandawa dan Korawa main dadu.


Anggota

Figur yang di tengah adalah Yudistira. Dua orang di sebelah kirinya adalah Bima dan Arjuna. Si kembar Nakula dan Sadewa berada di sebelah kirinya. Istri mereka, yang paling kiri, adalah Dropadi. Ukiran di Kuil Dasavatar, Deogarh, India.

Yudistira

Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah. Memiliki julukan Dhramasuta (putera Dharma), Ajathasatru (yang tidak memiliki musuh), dan Bhārata (keturunan Maharaja Bharata). Ia menjadi seorang Maharaja dunia setelah perang akbar di Kurukshetra berakhir dan mengadakan upacara Aswamedha demi menyatukan kerajaan-kerajaan India Kuno agar berada di bawah pengaruhnya. Setelah pensiun, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama dengan saudara-saudaranya yang lain sebagai tujuan akhir kehidupan mereka. Setelah menempuh perjalanan panjang, ia mendapatkan surga.

Bima

Bima merupakan putra kedua Kunti dengan Pandu. Nama bhimā dalam bahasa Sanskerta memiliki arti "mengerikan". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. Pandai memainkan senjata gada. Senjata gadanya bernama Rujakpala dan pandai memasak. Bima juga gemar makan sehingga dijuluki Werkodara. Kemahirannya dalam berperang sangat dibutuhkan oleh para Pandawa agar mereka mampu memperoleh kemenangan dalam pertempuran akbar di Kurukshetra. Ia memiliki seorang putera dari ras rakshasa bernama Gatotkaca, turut serta membantu ayahnya berperang, namun gugur. Akhirnya Bima memenangkan peperangan dan menyerahkan tahta kepada kakaknya, Yudistira. Menjelang akhir hidupnya, ia melakukan perjalanan suci bersama para Pandawa ke gunung Himalaya. Di sana ia meninggal dan mendapatkan surga. Dalam pewayangan Jawa, dua putranya yang lain selain Gatotkaca ialah Antareja dan Antasena.

] Arjuna

Arjuna merupakan putra bungsu Kunti dengan Pandu. Namanya (dalam bahasa Sanskerta) memiliki arti "yang bersinar", "yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat berada di surga); Partha (putera Kunti – karena ia merupakan putra Perta alias Kunti). Dalam pertempuran di Kurukshetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama para Pandawa dan melepaskan segala kehidupan duniawai. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan mencapai surga.

Nakula

Nakula merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi berkata bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengasuh kuda. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.

Sadewa

Sadewa merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Nakula, yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengembala sapi. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.

Riwayat singkat

Para Pandawa Lima menurut tradisi pewayangan Jawa. Dari Kiri ke kanan: Werkodara, Arjuna, Yudistira, Nakula dan Sadewa.

Masa kanak-kanak

Pandawa lima yang terdiri atas Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa, memiliki saudara yang bernama Duryodana dan 99 adiknya yang merupakan anak dari Dretarastra yang tak lain adalah paman mereka, sekaligus Raja Hastinapura. Sewaktu kecil mereka suka bermain bersama, tetapi Bima suka mengganggu sepupunya. Lambat laun Duryodana merasa jengkel karena menjadi korban dan gangguan dari ejekan Bima. Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan para Pandawa beserta ibunya.

Usaha pertama untuk menyingkirkan Pandawa

Dretarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh para Pandawa beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Waranawata. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat Pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba. Di hutan rimba, Pandawa bertemu dengan raksasa Hidimba, dan adiknya Hidimbi. Hidimba dibunuh oleh Bima, lalu Hidimbi dinikahi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca. Setelah beberapa lama, Hidimbi dan Gatotkaca berpisah dengan para Pandawa sebab para pangeran tersebut harus melanjutkan perjalanannya.

] Para Pandawa mendapatkan Dropadi

Pandawa lima yang melarikan diri ke rimba mengetahui akan diadakan sayembara di Kerajaan Panchala dengan syarat, barang siapa yang dapat membidik sasaran dengan tepat boleh menikahkan putri Raja Panchala (Drupada) yang bernama Panchali atau Dropadi. Arjuna pun mengikuti sayembara itu dan berhasil memenangkannya, tetapi Bima yang berkata kepada ibunya, "lihat apa yang kami bawa ibu!". Kunti, menjawab, "Bagi saja secara rata apa yang kalian dapat". Karena perkataan ibunya. Pancali pun bersuamikan lima orang.

Perselisihan antar keluarga

Bima merobek dada Dursasana dan meminum darahnya di medan perang Kurukshetra. Lukisan dari Lahore, th. 1930-an.
Pamannya (Dretarastra) yang mengetahui bahwa Pandawa lima ternyata belum mati pun mengundang mereka untuk kembali ke Hastinapura dan memberikan hadiah berupa tanah dari sebagian kerajaannya, yang akhirnya Pandawa lima membangun kota dari sebagian tanah yang diberikan pamannya itu hingga menjadi megah dan makmur yang diberi nama Indraprastha. Duryodana yang pernah datang ke Indraprastha iri melihat bangunan yang begitu indah, megah dan artistik itu. Setelah pulang ke Hastinapura ia langsung memanggil arsitek terkemuka untuk membangun pendapa yang tidak kalah indahnya dari pendapa di Indraprastha. Bersamaan dengan pembangunan pendapa di Hastinapura ia pun merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Yudistira dan adik adiknya. Yang pada akhirnya Yudistra pun terjebak dalam rencananya Duryodana dan harus menjalani pengasingan selama 14 Tahun, di dalam pengasingan itu Yudistira pun menyusun rencana untuk membalas dendam atas penghinaan yang telah dilakukan Duryodana dan adik adiknya, yang akhirnya memicu terjadinya perang besar antara Pandawa dan Korawa serta sekutu-sekutunya.